Perpisahan Di Atas Sajadah

Kisah lama yang terjadi pada masa Negara kita Indonesia masih dijajah oleh Jepang. Alasan kenapa aku ingin menulis cerita ini yang dulu aku dengar lewat cerita seseorang yang sangat aku hormati sampai saat ini meski beliau sudah meninggal.

Cinta penuh pengorbanan yang pernah dilalui oleh Nenek Ayu. Nenek ayu adalah putri tunggal dari keluarga seorang ayah petani dan ibu pedagang. Dahulu usia nenek ayu yang masih 14 tahun sudah dihadapkan pada konflik yang terjadi di Negara kita, tepatnya di Semarang. Kondisi yang tidak aman karena adanya perebutan wilayah oleh Jepang dan Belanda. Dimana pada saat itu kedudukan Belanda di kota Semarang mampu ditundukkan oleh Jepang. Setelah kependudukan Jepang tersebut, masyarakat pribumi semakin tersiksa dan melarat daripada masa kependudukan Belanda.

Ayah ayu pun adalah seorang petani yang memiliki banyak sawah di desanya. Karena sifat keserakahan Jepang, semua hasil panen diambil paksa oleh mereka. Sehingga para petani tak terkecuali ayah ayu menderita karena mereka tidak bisa memberi makan kepada anggota keluarganya. Hanya makan singkong yang dikeringkan untuk kemudian ditumbuk dan dimakan sebagai pengganti beras. Dengan cara itulah mereka bertahan hidup selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Jepang menyerah dan kalah setelah negaranya dihancurkan oleh Amerika dengan dijatuhkannya bom di kota Nagasaki dan Hiroshima. Setelah Jepang pergi meninggalkan Indonesia, pemerintahan kembali diduduki oleh Belanda, dan kehidupan masyarakat pribumi kembali seperti semula menjadi lebih baik.

Peristiwa itu sudah berlalu, usia ayu yang saat ini sudah beranjak dewasa 17 tahun. Pada masa itu orang tua yang memiliki anak gadis berusia diatas 15 tahun sudah mulai untuk menikahkan anaknya. Tapi saat itu ayu belum berfikir ke arah itu, dia ingin tetap menyelesaikan sekolahnya (bersekolah di sekolahan milik Belanda) dan kelak ingin menjadi seorang seniman tari di Keraton Solo. Cita-cita anak gadis yang sangat modern di zaman kolot. Ayu berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan baik dan melanjutkan masuk sanggar tari di kota Semarang.

Ayu pergi ke pasar dan membeli perlengkapan menarinya, setelah dirasa cukup barang-barang yang dia butuhkan langsung bergegas untuk segera pulang ke rumah. Di dalam perjalanan masih di dalam pasar itu, ayu tak sengaja kalau sepedanya itu menyenggol tumpukkan pot gerabah yang dipajang di sebuah toko. Dengan ketakutannya, ayu berniat ingin kabur dengan mengendarai sepedanya sekencang-kencangnya. Niat belum terlaksana, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik sepada ayu. Saat menoleh, ternyata sesosok laki-laki tinggi besar dan putih bermuka marah dan mata melotot berdiri melihatin ayu. Spontan ayu pun langsung turun dari sepeda dan minta maaf sambil menangis, dengan rasa kasihan laki-laki itu mengulurkan tangan di depan muka ayu sembari memberikan sebuah sapu tangan.

Disitulah awal pertemuan nenek ayu dengan sang suami itu terjadi.

Tak butuh waktu lama mereka berdua akhirnya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dan karena mereka saling cinta meski ada banyak perbedaan diantara mereka. Orang tua ayu sangat tidak setuju dan menentang hubungan mereka. Ayah dan ibunya ayu menolak jika anaknya menikah dari keluarga kalangan Tiong Hoa dan memiliki keyakinan yang berbeda beserta jarak usia yang sangat jauh, yaitu 11 tahun. Karena ayu terlahir dari keluarga Jawa yang masih ada hubungan kekerabatan dengan Keraton Solo dan besar di lingkungan kyai (islam). Dan saat itu usia ayu masih 19 tahun.

Mereka pun tetap kekeuh mempertahankan hubungan ini, hingga puncaknya ayu pergi dari rumah dan meminta kekasihnya untuk membawanya pergi. Dengan sedikit banyak kebimbangan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk meninggalkan kota Semarang. Tanpa pikir panjang ayu mengusulkan untuk pergi ke Solo, karena di kota itupula cita-cita yang ingin diwujudkan oleh ayu untuk menjadi seorang seniman tari di Keraton.

Akhirnya mereka berdua pun menikah, meski tanpa restu dari kedua keluarga. Mereka memulai semuanya dari nol tanpa ada keluarga yang membantu maupun sanak saudara yang lain sejak mereka memutuskan untuk meninggalkan Semarang. Ayu akhirnya sukses megejar cita-citanya dan selama bertahun-tahun menjadi penari Keraton, ayu pun diminta menjadi guru tari bagi putra-putri Keraton dan suaminya membuka usaha kerajinan seni keramik dan tembikar di Solo dan sukses pula. Bertahun-tahun dalam membina keluarga, mereka sangat bahagia tak sekalipun bertengkar. Setelah dikaruniai anak perempuan yang cantik berumur 3 tahun dan seorang anak yang masih ada dalam kandungan.

Terlintas niat ayu saat pikiran merindukan sang ayah dan ibu dan ingin untuk pulang ke Semarang bertemu dengan ayah dan ibu. Serta ingin memperkenalkan cucu mereka ini. Dengan besar hati mereka pergi ke Semarang. Sesampainya di depan rumah, mereka bertiga tak segera masuk karena merasa sangat punya dosa besar kepada orang tuanya. Tapi saat ayah ayu pulang dari sawah, melihat ayu langsung mengusirnya dan dengan kemarahan sang ayah, ibu ayu yang sedang berbaring di tempat tidur karena sakit. Ibu ayu yang sakit setelah ditinggal pergi ayu karena pikiran. Akhirnya dengan kecewa dan luka mereka pergi di hari itu pula, meski belum sempat masuk rumah. Sebelum pergi ayu dan suami bersujud memohon ampun dan meminta restu di kaki ayah dan ibu. Air mata kesedihan itu pula yang sedikit demi sedikit meluluhkan kerasnya hati seorang ayah. Setelah dari kejadian itu, sang ayah pun meninggal dunia. Ibu ayu ingin memberi tahu pada ayu, tapi tidak tahu dimana mereka tinggal. Sebab waktu itu mereka belum sempat berbicara, sang ayah pun sudah mengusirnya.

Kuasa Tuhan yang akhirnya membawa ayu dan keluarganya pergi ke Semarang. Ikatan batin seorang anak dengan orang tuanya yang membuat ayu merasa ada kegelisahan dalam hatinya, tapi dia tidak tahu apa itu? Setelah melihat rumah kedua orang tuannya, ayu semakin merasa sesak dan ingin menjerit tapi nekat masuk ke dalam rumah, meski nanti akan diusir lagi oleh ayah. Setelah melihat ibu ayu yang menagis duduk di kursi keluarga dan memeluknya. Berceritalah sang ibu kepada ayu, dan ayu pun histeris menangis hingga pingsan karena kondisi dia yang lemah dalam keadaan mengandung.

Kisah yang memilukan, yang menjadikan kita sebagai pelajaran hidup karena seberapa yakinkah kita berani mengambil keputusan dan menerima setiap resikonya!

Hidup harus terus berjalan meski kesedihan selalu membayangi kehidupan keluarga ayu. Usia semakin bertambah, anak-anak semakin dewasa dan sang ibu yang tak lain adalah nenek dari anak-anak mereka semakin tua rentan. Kesedihan berganti dengan kebahagiaan saat anak pertama mereka menikah dan mereka merasakan juga menjadi seorang kakek dan nenek. Sang nenek buyut pun bahagia bersama mereka di kota Solo. Berpuluh-puluh tahun hingga di tahun 1985, datanglah sebuah hidayah yang tak ternilai. Suami ayu memutuskan menjadi seorang mualaf dan masuk memeluk agama islam. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Sang ibu ayu pun menyusul sang ayah ke surga dengan kebahagiaan dan ketenangan. Karena meninggal dengan melihat anak, menantu dan cucu-cucunya hidup bahagia. Semoga saja dengan ini rasa bersalah ayu kepada sang ayah bisa terobati.

Tepat di tahun 1987 saat shalat subuh, ayu dan suami melakukan shalat berjamaah. Ini adalah kado terindah yang pernah dia dapat. Harapan ingin mempunyai seorang imam di dalam hidupnya bisa terwujud juga. Adzan subuh berkumandang, ayu dan suami berwudhu dan segeralah menjalankan shalat subuh. Mulanya seperti biasa, rakaat pertama terselesaikan dan dilanjut dengan rakaat kedua. Sujud kedua di rakaat kedua terasa lama buat ayu, karena sebelumnya tidak seperti ini. Dengan curiga hingga ayu pun tidak fokus lagi meneruskan rakaat terakhirnya dan bergegas mendekati suaminya. Setelah mendekat, ternyata suaminya sudah lemas terkulai hingga terjatuh diatas pangkuan ayu. Ayu pun histeris ketakutan, tanpa sengaja membangunkan tidur anak-anaknya. Setelah dicek denyut nadi dan jantung serta seluruh tubuh ayah mereka yang dingin, ternyata ayah mereka sudah meninggal dunia. “Innalillahi Wa Innalillahi Roji’un”.

Ayu pun hidup seorang diri mengurus anak-anaknya, dan usaha sang suami diteruskan oleh putra ke-3 nya yang memiliki kesamaan bakat dengan almarhum suaminya. Hidup sendiri selama 18 tahun semenjak suaminya meninggal karena anak-anaknya yang sudah memiliki keluarga sendiri. Tahun 2005, ayu pun menyudahi jalan cerita hidupnya dan meninggal dalam keadaan cantik dan tersenyum di usia 74 tahun.

Kebahagiaan yang tercipta dengan harapan dan berakhir pula dengan air mata kebahagiaan. Jodoh mereka hanya sampai disini, semoga kisah cinta mereka akan selalu abadi dalam hati anak-anak dan cucu-cucunya dan menjadikan pelajaran hidup yang sangat berharga buat orang banyak.